erjalanan waktu senantiasa menghadirkan dinamika kehidupan yang silih berganti, antara kemenangan dan kekalahan, kejayaan dan keruntuhan, suasana senang, lapang dan sempit dalam dada, tak pernah ada yang langgeng. Hal seperti ini kita juga bisa melihat sejarah kehidupan zaman Nabi Muhammad, beliau menanggung hidup susah, tertekan, ketidak adilan, dan kedholiman semasa hidup di Makkah, namun itu berubah dengan kejayaan dan kemenangan ketika beliau hijrah ke Madinah. Akan tetapi kehidupan beliau di Madinah pun juga mengalami pergantian, dan perubahan dari suasana yang satu ke suasana yang lain. beliau menang dalam perang badar, tapi juga mengalami kekalahan dalam perang uhud, itulah kehidupan di dunia.
Ada gambaran lain dalam Al-Qur’an tentang kehidupan di dunia ini, yaitu dalam surat Al-Imron ayat 14 "Telah dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang….".
Pada ayat tersebut Al-Qur’an menggambarkan bahwa dunia itu menyenangkan, indah, mempesona, namun Allah mengingatkan dengan lanjutan redaksi ”Itulah kesenangan hidup di dunia ” maksudnya semua itu merupakan sebuah kesenangan yang terbatas hidup di dunia, tak pernah abadi, dan rendah dibandingkan dengan kesenangan hidup di akhirat. Sebagaimana isyarah lanjutan ayat tersebut, ”Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Gambaran kehidupan seperti di atas mungkin dapat menjadikan sebuah tekanan tersendiri bagi mereka yang belum siap menghadapi sebuah perubahan yang sangat bertolak belakang, bahkan dapat menjadikan seseorang putus asa hingga nekat untuk bunuh diri. Namun sangat berbeda bagi seorang Mu’min yang taqwa, mereka akan merasa mendapat sebuah penawar, yang dapat menyembuhkan kegalauan dan kecemasan hati, penyejuk yang dapat menyegarkan kehausan hati, ketika mereka membaca lanjutan ayat tersebut, yaitu .... (QS. Al-Imron : 15).
Di sini Allah menjelaskan tentang kenikmatan ukhrowi yang dapat menggantikan kesenangan yang telah hilang dari tangan kita. Rasulullah diutus untuk memberi kabar gembira kepada para Muttaqien dengan kesenangan ini, kesenangan Akhirat di sini digambarkan dengan secara inderawi akan tetapi ada perbedaan yang mendasar sekali dengan kesenangan duniawi yang di jelaskan pada ayat sebelumnya.
Kalau kesenangan di dunia berupa wanita-wanita dan anak-anak, di akhirat terdapat istri-istri yang suci, yang kesuciannya itu sendiri sudah merupakan kelebihan dan ketinggian yang melebihi kesenangan kehidupan di dunia.
Adapun harta yang banyak yang digambarkan dengan, emas, perak, kuda, ternak, ladang, mungkin pada saat ini bisa berupa kendaraan mewah, rumah megah, uang melimpah, itu semua di dunia hanyalah alat untuk menghantarkan atau mencapai sebuah kesenangan yang hanya sementara. Sedangkan kesenangan di akhirat tidak memerlukan perantaraan untuk menggapainya, kita dapat memilikinya selamanya.
Kesenangan dunia hanyalah tipuan belaka, bagaikan fatamorgana. Contoh, Kita lihat saja rumah megah yang kokoh, Allah dengan mudahnya meluluh lantahkan bangunan itu semudah membalik telapak tangan. Emas, perak, dan uang yang melimpah yang kita pertahankan, yang kita simpan dalam brankas. Namun, pada akhirnya dapat lenyap dan musnah begitu saja.
Kadang kala kita para lelaki juga terlena oleh bayangan indahnya wanita, dengan tubuh molek dan kemulusan kulitnya. Namun, setelah kita mendapatkannya ternyata begitu banyak kita menemukan hal-hal yang justru sangat menyakitkan.
Kemudian ada yang lebih besar dari semua itu yaitu ”keridhoan Allah” sebuah kata yang mengandung makna kemurahan dan kesegaran, dengan segala bentuk kasih sayang dan kecintaan, yang dapat mengungguli kesenangan-kesenangan duniawi dan ukhrowi sekaligus.
Kesenangan-kesenangan ukhrowi tersebut tidak akan didapat kecuali oleh mereka yang bersifat Muttaqien. Sifat ini digambarkan dalam lanjutan ayat, dengan Orang-orang yang selalu berhubungan dengan Tuhannya melalui munajat do’anya, yang menyebabkan keridhoan-Nya. Dengan untaian doa-doa-nya mereka menyatakan keimanannya, memohon pertolongan di sisi Allah swt. Dengan keimanannya itu, memohon ampunan dan memohon perlindungan dari neraka.
Sifat mereka yang lain tampak pada kesabarannya dengan kesabaran yang dimilikinya mereka tabah menghadapi tekanan, kesempitan hidup, tegar menghadapi penderitaan dan pantang berkeluh kesah. Tabah mengemban tugas dakwah, istiqomah dalam beribadah, ridho menerima keputusannya.
Dalam Kejujuran terdapat kepahlawanan dan ksatriaan dalam memegang prinsip agama, ia merupakan pilar keberadaannya dan pantang bersikap menyerah dan lemah.
Taat kepada Allah merupakan bukti kemuliaan jiwa mereka, sekaligus ekspresi jiwa mulia dalam memurnikan hak uluhiyyah Allah dan ubudiyyah hamba.
Berinfaq merupakan sebuah usaha untuk membebaskan diri dari belenggu kehinaan untuk menggapai pahala di Akhirat sebagai bekalnya di sana dan lebih meninggikan ukhuwah insaniyyah dari pada memperturutkan keinginan dan kesenangan pribadi yang bersifat duniawi.
Istighfar di waktu sahur, merupakan sifat yang memberikan nuansa ketenangan dan kesegaran yang mendalam, waktu sahur adalah saat yang hening menimbulkan suasana halus, lembut, dan tenang hingga tercurahlah semua perasaan serta getaran yang tertahan dan terpendam dalam hati.
Demikian Allah menggambarkan manusia dalam menghadapi dunianya, Allah memberikan arahan dan sentuhan terhadap jiwa dengan penuh kelembutan serta kasih sayang yang sangat dalam. Baca, renungkan, dan rasakanlah sentuhan itu dengan membuka sendiri surat Al-Imron.
Kamis, 05 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar