Kamis, 05 Maret 2009

Berhala yang terselubung

Kata ”berhala” kerap kali dengar. Dan seperti yang Kita ketahui, Islam melarang keras menyembah berhala. Tapi, pada kenyataannya tidak sedikit diantara kita yang menyembah berhala itu sendiri, penyebabnya dikarenakan kita kurang begitu paham apa makna dari berhala itu sendiri ? pada jaman para nabi dahulu, berhala dapat kita kenal lebih jelas dengan bentuk patung, pohon, matahari, batu dan benda-benda lain yang diyakini mempunyai kekuatan untuk memberi manfaat dan menolak madhorot oleh manusia. perlu dimaklumi bahwasanya berhala itu tidak hanya seperti yang diartikan diatas, bahkan juga mempunyai makna majasi yaitu merupakan simbol ketundukan manusia pada hawa nafsunya.
Secara naluriah, nafsu manusia akan cenderung kepada apa yang dianggapnya bermanfaat, dan menjauhi apa yang dianggapnya membahayakan atau kurang enak. Disinilah manusia diuji, apakah mendahulukan makhluk yang dianggapnya bermanfaat, atau lebih mendahulukan Allah SWT, sumber kemanfaatan itu sendiri. Tak jarang manusia melupakan ”Sumber kenikmatan” sejati, Allah SWT.. Anjing, ketika dilempar batu, akan menggonggong menghadap yang melempar. Bukan kepada batunya. Sedangkan manusia sering bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada nikmat yang diberikan Allah SWT dan melupakan pemberi nikmat yaitu Allah SWT itu sendiri.
Memang pada jaman sekarang ini secara fisik berhala jarang kita temui. Kita tidak akan mau menyembah patung emas. Di paksa sekalipun kita tidak akan sudi menyembahnya. Kita akan berkata, ”ini kan cuma patung, tidak bisa memberi manfaat dan mudhoro”. Alih-alih menyembahnya, menundukkan kepala sedikit saja kita tidak akan sudi. Namun jika patung emas itu dijadikan kalung, gelang, cincin yang indah, kita akan ikut memperebutkannya, walaupun untuk itu kita harus antre dan ketinggalan, atau bahkan kehilangan sholat .
Tanpa sepengatahuan kita berhala itu justru tumbuh dalam diri kita sendiri yang berupa nafsu yang membuat kita melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama. Negara kita mayoritas beragama islam, tetapi tak jarang kita temui orang yang berkedok muslim tetapi hatinya masih menyembah berhala, masih mengikuti hawa nafsu masing-masing.
Disebutkan dalam suatu kisah, di sebuah pondok ada seorang santri yang sangat rajin sholat dan mengamalkan perintah agama. Karena faktor ekonomi, sesudah lulus kesehariannya ia bekerja sebagai tukang ojek. Karena profesinya, ia mengorbankan waktu dan memeras keringat demi mencari lembaran rupiah. Sampai-sampai sholat yang biasa ia kerjakan ditanggalkan begitu saja. Suatu pagi di hari raya Idul Fitri, Santri itu sudah berpakaian rapi, bersih untuk melaksanakan sholat id di masjid. Di perjalanan ada bus berhenti lalu keluarlah seorang penumpang dan berhenti di pangkalan ojek. Santri itu berfikir ”sholat apa ngojek, ya ?”. Saat itu berhalanya atau lebih tepatnya hawa nafsu datang merasukinya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengerjakan sholat. Itulah, maksud hati ingin sholat tetapi karena sering mengikuti berhala, maka berhala itupun menghalangi niat kita.
Jadi, marilah kita renungkan sebesar mana usaha kita untuk menjauh dari berhala-berhala itu, hendaknya kita selalu menjaga hati kita agar selalu berdzikir kepada Allah dan menghindari hawa nafsu. Sekecil apapun kita mengikuti hawa nafsu pasti ada resikonya. Yang pada akhirnya akan merugikan kehidupan beragama kita. Bahkan ada seorang ulama’ yang mengatakan bahwa berhala yang paling besar, yang harus kita nafikan atau kita tiadakan adalah hawa nafsu kita sendiri. Maka untuk masuk surga hanya membutuhkan dua langkah saja. Kaki kiri kita menginjak hawa nafsu dan kaki kanan langsung melangkah masuk surga.
Disebutkan dalam Al-Qur’an :

وَاِذْ قَالَ اِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هذَا الْبَلَدَ امِنًا وَاجْنُبْنِيَّ وَبَنِيَّ اَنْ نَعْبُدَالاَصْنَامَ

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata : ”Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri (Makkah) ini, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala (QS. Ibrahim : 35)
Di dalam surat diatas diterangkan bahwa nabi Ibrahim berdoa agar negaranya (mekah) menjadi negara yang aman yang didalamnya tidak terdapat gejolak-gejolak pertentangan dan kerusuhan. Tak ayal, berkat kerja kerasnya dibantu rahmat dari Allah yang mengijabahi do’a hambanya Nabi Ibrahim menjadikan negara Mekkah dan Madinah sebagai negara yang paling aman sedunia. Nabi Ibrahim juga mendo’akan anak cucunya agar terjauh dari berhala yang menyesatkan.
Yang kita butuhkan pada jaman sekarang adalah figur ”Ibrahim” baru. Seorang yang betul-betul berani menghancurkan berhala-berhala yang kerap merusak aqidah umat. Kita tentu teringat bagaimana, dengan berani, Ibrahim menghancurkan patung-patung kecil, kemudian mengalungkan kapaknya ke leher patung yang besar. Kita membutuhkan figur seorang da’i yang rela dirinya menderita, di bakar api oleh raja Namrud, untuk menyelamatkan umat. Kita merindukan seorang yang memiliki sikap pengorbanan yang sedemikian berani. Bagi Ibrahim apalah arti dirinya jika dibandingkan dengan keselamatan, kemurnian, agama Allah SWT.
Sikap –sikap seperti ini mulai hilang dari diri kita sekarang ini. Kita belum memiliki kepekaan dan kesedihan ketika melihat kondisi umat yang terjerat berbagai penyembahan terhadap berhala. Alih-alih mengurus kepentingan umat, kita malah sibuk membangun dan mengurus kepentingan diri kita sendiri.
Padahal kondisi umat begitu memprihatinkan. Jika kita kaji lebih jauh, penyakit spiritual umat ini lebih parah dari penyakit-penyakit spiritual yang diderita oleh umat sebelum kita. Bahkan seluruh penyakit spiritual yang diderita umat-umat terdahulu berkumpul pada umat sekarang. Bukankah umat membanggakan teknologi sebagaimana kaum Tsamud, mementingkan pertanian seperti kaum Saba’, di”nina bobok”kan dengan kekuatan badannya seperti kaum ’Aad ? Belum sadarkah kita, bahwa umat ini menuhankan kekuasaan seperti Fir’aun dan Haman, Memberhalakan harta seperti Qorun ? Coba kita lihat ketika Adzan berkumandang. Ketika nama Allah SWT dibesarkan. Ketika Allah memanggil dengan perantaraan muadzin. Dimanakah umat ini akan berada. Di masjidkah atau di mal-mal, pusat perbelanjaan ? Di suraukah atau di pusat-pusat kebugaran (fitnes center) ? Di mushollakah atau diladang dan persawahan ?.
Dalam kitab Hikayatus Shohabah Bab V dituliskan beberapa kisah tentang perilaku sahabat dalam perdagangan mereka ketika adzan berkumandang. Bahwa sahabat meninggalkan tokonya ketika adzan berkumandang. Diantara sahabat ada yang pedagang, namun keagungan Allah yang tertancap dalam hati mereka, membuat mereka lebih mengutamakan sholat dari pada perdagangan. Iman yang teguh dalam hati mereka menjadikan mereka mampu menepis ketakutan dan kecemasan dalam benak mereka. Ketakutan ditinggalkan pembeli, kecemasan berkurangnya penghasilan dll. Sehingga Allah telah memuji mereka :
”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan sholat” (QS. An-Nur : 37)
Maka sangatlah penting bagi kita untuk menjauhkan diri dari nafsu yang menyesatkan. Agar kita tidak menuju medan penyiksaan yang tiada tara kepedihannya dan tiada batas waktunya yaitu ”Neraka” Allah swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar