Rabu, 26 Agustus 2009

Keterbukaan Dalam Islam




DALAM pengantar bukunya “Islam Alternatif” Jalaluddin Rakhmat menekankan pentingnya keterbukaan untuk membangkitkan kembali semangat pemikiran Islam yang mau belajar dari mana pun, tidak fanatik mazhab, non-sektarian, dan cintai dialog. Dengan kekuatan logika yang terasah, umat akan sensitif dan apresiatif terhadap segala perubahan yang terjadi di dunia modern dan mengaktualkan nilai-nilai Islam dari sekadar ruang-ruang konseptual (1991:16-18).
Ungkapan di atas sesungguhnya lahir dari keprihatinan yang mendalam atas segala efek kebodohan. “Tiada kepapaan lebih menyedihkan daripada kebodohan,” kata ‘Ali bin Abi Thalib. Keterbatasan informasi tidak saja melahirkan sikap tertutup, inferior, fanatik, taqlid, apriori, romantis historis, teologisasi namun juga korban kemanusiaan seperti Socrates, Suhrawardi, Galileo, al-Hallaj, Siti Jenar, Jeanne d’Arc, dan lain-lain. Untuk mereka yang puas dengan status quo, “gagasan baru” bak halilintar di siang bolong. Daya kejutnya seperti mencabik-cabik jaring sistem kekuasaan, meludahi aroma ortodoksi, dan melecehkan hirarki otoritas. Banyak yang merasa tersinggung. Pengikutnya, yang kadang tak tahu menahu, pun tersinggung. Dan rantai ini akan memuntahkan sumpah serapah, sikap emosional yang lazimnya tidak keluar kecuali dari ketakbiasaan menyusun kekuatan logika, selain logika kekuatan.
Keterbukaan adalah semacam hak individu untuk mengakses dan menggunakan informasi yang memang sedianya diketahui awam agar dia dapat mengakselerasi kemampuan diri. Tentu saja tidak dengan otomatis kita menyamakan keterbukaan sebagai kebebasan ala Sartre yang tidak jelas artinya karena sifatnya yang elusif dan membunuh dirinya sendiri. Namun, keterbukaan adalah barang mewah yang tidak serta merta dinikmati oleh setiap manusia dari kelas mana suka. Informasi adalah senjata utama penguasa untuk menentukan dan menggiring opini publik dan, sebaliknya, adalah mesiu opisisi untuk membenarkan setiap perlawanan kepada penguasa. Penyumbatan informasi membuat rakyat apolitis dan tidak punya bekal dalam menilai dan membandingkan kebijakan negara. Informasi juga dapat dijadikan alat intimidasi dan represi bagi setiap gerakan oposisi. Setiap lembaga negara yang menangani informasi publik langsung dilikuidasi dan dijadikan barang haram. Mereka dianggap sekadar alat kontrol publik dan penentu hidup matinya sebuah media. Pada perkembangannya, informasi tidak dimaknai pada wilayah politik antara pejabat negara sebagai pemberi informasi dan rakyat sebagai penerima.
Pasca reformasi, banjir informasi mengelembung seiring dengan perkembangan teknologi dan perbanyakan media massa. Informasi adalah komoditi, sebab setiap orang butuh informasi. Dalam masyarakat global, informasi beralih menjadi barang primer, kebutuhan yang tidak bisa ditunda atau disubstitusi dengan kebutuhan lain. Rakyat dipaksa menerima berita bermutu dan sampah sekaligus. Ironis. Fenomena inilah yang membuat Hegel berupaya memperlihatkan bagaimana kekuatan negara modern, dipahami secara rasional, merekonsiliasikan kontradiksi-kontradiksi dari “masyarakat sipil”, yang mana adalah masyarakat borjuis. Masyarakat sipil adalah medan perang kepentingan-kepentingan pribadi, sedangkan negara mengekspresikan kesatuan daripada sebuah kehidupan bangsa. Negara adalah aktualitas dari kebebasan yang konkrit. Tapi konsep filsafat negara Hegel ini dikritik Marx yang melihat bahwa keduanya, masyarakat sipil dan negara, adalah asing dari kehidupan manusia yang sejati (demokrasi sejati).
Lepas dari perspektif kekuasaan negara dan atau masyarakat di atas, ada tiga hal lain yang perlu dicermati bagaimana ketertutupan betah menggelayut pada alam bawah sadar kita, yaitu feodalisme, budaya-pop, dan teologi.Pertama, feodalisme sebagai internal colonialism. Budaya feodal tumbuh dalam masyarakat agraris, yang memandang tanah demikian penting. Menurut Arif Budiman, karena masyarakat ini pada dasarnya belum terbuka dengan perdagangan internasional dan ilmu pengetahuan belum maju pada saat itu, maka orang yang menguasai tanah menjadi sangat dominan. Akibatnya hirarki itu kuat sekali. Karena feodalisme sebagai suatu kultur ditentukan oleh organisasi sosial tertentu, maka secara alamiah, penilaian atas tanah beralih ke korporasi di mana penguasa negara menjadi Bapak-nya. Perdagangan yang terbuka dan kemajuan sains akan membongkar budaya ini menjadi lebih rasional. Pola kepatuhan ala Asal Bapak Senang di masyarakat kota sudah mulai berkurang dibanding desa, namun masih mengakar di aparat pemerintahan.
Kedua, budaya-pop yang dipahami secara idealis sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem, bisa pula dimaknai sebagai keinginan untuk keluar dari formalisme atau standardisasi bahasa yang dibangun oleh sebuah rezim kekuasaan. Dan itu sekadar keinginan untuk “tampil beda”, sebagai identitas komunal kata Habermas, tanpa pretensi struktur kekuasaan. Tidak ada pengetahuan yang diadopsi melainkan melulu tren yang cenderung berubah mengikut zaman dalam spektrum bisnis. Individu adalah subordinat dalam ruang simulacra, sesuatu yang “tidak bernalar” atau “tidak masuk akal”. Inilah yang menurut Fichte harus ditumbangkan karena tidak sesuai dengan aku yang menempatkan-diri-sendiri, yang otonom, dan menguasainya secara bebas, menurut hukum-hukumnya sendiri.
Ketiga, teologi yang simbolis yang tidak pernah membicarakan problem keagamaan secara mendasar. Pendirian organisasi keagamaan yang notabene adalah organisasi fiqih atau kesukuan, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam, al-Irsyad adalah contoh bagus membuktikan bahwa tiada satu pun organisasi pemikiran yang berdiri, kecuali pada era 80-an. Penjajahan Belanda dan, kata Pramoedya, feodalisme raja-bangsawan Jawa, membuat sumber daya manusia Indonesia yang minim membuat paradigma yang fiqh-oriented jadi primadona setiap wacana keagamaan. Kalaulah ada sedikit pencerahan filosofis, itu perlu mengail dari sumur intelektual Kristen melalui penerbit Gramedia dan Kanisius. Pemahaman keagamaan yang intoleran, sektarian, fiqhyah, provokatif, yang sebenarnya kalau dilihat dari sisi sosio-politik adalah buah dari warisan sistem kolonial, di mana miskinnya gagasan dan krisis ketokohan adalah buahnya. Sulit menyebutkan tokoh umat yang punya penguasaan baik keilmuan sosial, kecuali segelintir ulama kakap macam A Hassan, TM Hasby ash-Shiddiqy, Hamka, dan Quraish Shihab.Klop sudah. Bila feodalisme menjadi pondasi sistem birokrat, budaya-pop sebagai aura pemikiran generasi muda, maka teologi simbolis adalah paradigma utama umat Islam Indonesia yang menjadi alat legitimasi setiap praktik sosial-politik. Yang membuat umat, kata ‘Ali Syari’ati tidak bisa membedakan, atau lebih memilih sejarah Islam (das sein) daripada jalur Islam (das sollen).
Dalam sistem seperti ini, agama rentan dipolitisir dan karet gelang Negara. Fatwa adalah bagian dari posisi tawar partai dan publikasi ritual pejabat negara, seperti haji-qurban-sedekah anu merupakan kampanye efektif menjaring kesan baik konstituen.Di tengah pondasi pemikiran yang masih rapuh dan dependen, iklim politik yang hegemonik, jurang sosial-ekonomi yang lebar, dan pengetahuan umat yang masih rendah dan terkotak-kotak, membuat rumit mencari prioritas yang maslahat sekaligus mencerahkan anak bangsa, yang mayoritas Muslim.Bagaimana pun, wacana keterbukaan adalah prasyarat awal kehidupan demokratis. Pikiran-pikiran yang berbeda dengan garis utama pandangan awam tidak mesti diberangus untuk sebuah harmoni. Setiap pemikiran baru tidak akan secara mentah-mentah dimamah umat, yang mempunyai cara tersendiri untuk menyeleksi. Berdasar tipologi pemikiran keagamaan di Indonesia, kehebohan dan kegusaran wacana hanya ramai di tingkat elit dan media massa, tidak akan menyentuh pada akar rumput selama sang pemikir tidak mempunyai bahasa yang membumi, renyah, dan bersifat juklak.Keran-keran pemikiran keagamaan perlu dibuka lebar-lebar. Berilah kesempatan bagi setiap orang untuk mereguknya agar air pencerahan mendinginkan sedikit kepala-kepala anak bangsa agar sel sektarianisme mendapatkan sel pengganti dari toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda serta memiliki kemandirian intelektual, menuju, seperti kata Walter Lippmann, suatu “kebebasan yang bertanggung jawab” (freedom demand responsibility). Sebaga imana ungkapan indah Ali bin Abi Thalib kw, “Ambillah hikmah di mana pun ia berada. Adakalanya hikmah bersemayam di hati seorang munafik, namun ia akan ‘gelisah’ dan takkan berdiam diri sampai berhasil keluar dan bergabung dengan kawan-kawannya di dalam dada orang beriman.” [imq]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar